Halaman

Silahkan pilih bahasa (choose your language) :

Minggu, 31 Oktober 2010

FIQIH WANITA


BAB
KEWANITAAN
 
          Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah: ‘Haidh itu adalah kotoran.’ Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita yang dalam keadaan haidh (jangan menyetubuhinya); dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci (sebelum mandi-wajib). Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka dari sisi yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” [QS Al-Baqarah (2):222]


DARAH WANITA

Ada tiga macam darah yang keluar dari vagina seorang wanita:
1.      Darah Haidh
2.      Darah Nifas
3.      Darah Istihâdhah

Darah Haidh

          Darah yang keluar dari vagina seorang wanita dalam masa beberapa hari setiap bulan pada umumnya adalah darah haidh. Wanita yang melihat darah tersebut dinamakan wanita haidh.
          Haidh terjadi dalam masa beberapa hari setiap bulan yang menimpa kaum wanita umumnya. Akan tetapi, dapat dimungkinkan bahwa haidh pada sebagian wanita terjadi dua kali dalam sebulan, atau sekali untuk jangka waktu beberapa bulan.

Mengapa Haidh?
          Petunjuk sistem atau tatanan termasuk bukti keesaan dan makrifat Allah. Bukanlah sistem atau tatanan yang dimaksudkan itu berurutan (sistem ranking). Tetapi keselarasan, yakni keselarasan bagian-bagian yang berbeda dalam wujud yang satu untuk mencapai tujuan yang satu. Seperti itu pula, bagian-bagian pada jam dan cara bekerjanya yang berbeda-beda, tetapi seluruhnya bekerja dengan sangat serasi dan teratur, sehingga memberitahukan kita terjadinya masa.
          Demikian halnya berkenaan dengan sistem penciptaan. Di mana dapat diperlihatkan contoh-contoh tatanan yang serasi dan teratur, di antaranya:
1.    Ketika menyuap makanan ke dalam mulut, semua sarana yang memiliki hubungan bekerja sebagai persiapan makanan untuk dicernak dan proses pencernakan makanan dalam bentuk yang serasi satu dengan lainnya. Dimulai dari fase kunyahan makanan, air ludah dan seterusnya.
2.    Sebelum bayi dilahirkan, Allâh Ta’âla mempersiapkan tempat yang sesuai dalam tubuh si ibu yang akan melahirkan bayinya untuk disusui dengan makanan yang cocok (ASI).
3.    Selama bayi berada dalam rahim si ibu, ia tidak mamakan makanan melalui mulutnya dan tidak juga bernafas, tetapi ia (bayi) memperoleh apa yang dibutuhkannya melalui pusarnya. Makanan yang dimakan sang ibu tidak cocok untuk tubuh si bayi. Oleh karena itu ada dapur dalam tubuh sang ibu yang dinamakan placenta (ari-ari) yang letaknya bersebelahan dengan janin, dan bertugas untuk memasak makanan yang cocok bagi si bayi.
4.    Sebelum terjadinya nuthfah, rahim mempersiapkan untuk menampungnya dan memberinya makanan. Jika sudah menjadi nuthfah, janin akan mengambil makanan dari dinding rahim dan berkembang. Apabila tidak menjadi nuthfah, maka dinding bagian dalam rahim rusak. Melihat banyaknya wadah darah dalam jaringan dinding tersebut kemudian sejumlah darah akan keluar bersama jaringan-jaringan yang rusak dari tubuh. Ini, boleh jadi, yang dinamakan dengan haidh yang biasa terjadi setiap bulan pada kaum wanita dewasa.
          Ringkasnya, bahwa haidh adalah sistem atau tatanan dalam rahim untuk menyambut nuthfah dan berkembang menjadi janin hingga pembentukan manusia.

Ciri-ciri Darah Haidh
Pada umumnya ciri-ciri darah haidh sebagai berikut:
1.      Merah lembut, atau merah kehitaman
2.      Kental
3.      Panas
4.      Saat keluar disertai dengan tekanan dan memancar serta sedikit terasa nyeri.*)
*) Merujuk pada sifat-sifat tersebut ketika syak (ragu pada sebagian keadaan). Kalau tidak demikian, maka darah yang diyakini bahwa itu darah haidh yang dihukumi sebagai haidh, meskipun sifat-sifatnya tidak terpenuhi. [Tahrîr al-Wasîlah, juz 1, hal.44, bab: Mandi Haidh]

Ciri-ciri Wanita Haidh
          Ada tujuh syarat untuk mengetahui wanita haidh. Jika salah satu syarat tersebut tidak ada, maka bukan darah haidh, yaitu:
1.    Baligh (usia dewasa)
2.    Haidh hingga masa sebelum usia manopause
3.    Masa haidh tidak kurang dari tiga hari
4.    Dan tidak lebih dari sepuluh hari
5.    Tiga hari (pertama) berturut-turut
6.    Terus menerus keluar darah dalam setiap hari-hari yang tiga
7.    Adanya selang waktu antara dua haidh (masa suci) yang tidak kurang dari sepuluh hari.

Penjelasan:
1. Baligh (usia dewasa)
          Seorang wanita yang baru melihat darah dan saat itu ia menginjak usia dewasa (9 tahun sempurna), maka dihukumi darah haidh. Adapun darah yang dilihatnya pada usia kurang dari sembilan tahun, maka dihukumi sebagai darah istihâdhah meskipun memiliki sifat-sifat dan tanda-tanda darah haidh. [Al-‘Urwatul Wutsqâ, bab: Haidh, hal.315; Tahrîr al-Wasîlah, juz 1, hal.42]
·          Yang dimaksudkan dengan sembilan tahun adalah telah mencapai usia sembilan tahun penuh dan akan memasuki usia kesepuluh. [Tahrîr al-Wasîlah, juz 1, hal.42]

-       Soal: Apa yang dimaksud dari tahun usia kesembilan bagi wanita dewasa? Apakah tahun yang dimaksud adalah tahun Syamsiyyah (Nasional) ataukah tahun Qamariyyah (Hijriah)? Bila hal itu adalah tahun Qamariyyah, berapakah jika dihitung dengan tahun Syamsiyyah?
+   Jawab: Seorang wanita yang usianya sempurna sembilan tahun Qamariyah (hijriah) maka ia telah berusia baligh (dewasa) dan terbebani oleh kewajiban amalan-amalan syariat seperti shalat, puasa dan lainnya. Sedangkan sembilan tahun qamariyah jumlahnya lebih sedikit daripada sembilan tahun syamsiyah, yaitu tiga bulan beberapa hari. Untuk mengetahui perbedaan secara cermat adalah dengan mengetahui hitungan bulan dan masa saat dilahirkan. [Fiqh al-Mar`ah, Istiftâ`]
·          Seorang wanita yang ragu (syak), apakah ia telah menginjak usia baligh atau belum? Dihukumi sebagai belum baligh. Bila saat itu dari vaginanya keluar darah yang sesuai dengan sifat-sifat darah haidh dan ia meyakini sebagai darah haidh,*) maka ia ditetapkan berusia baligh. Tetapi bila darah yang keluar tidak bercirikan darah haidh, maka untuk menghukuminya sebagai darah haidh masih bermasalah (mahallu ta`ammul wa isykâl).
*) Sebagian ulama (fiqih) menggolongkan darah tersebut darah haidh, demikian pula sebagai tanda usia kedewasaannya.

2. Usia Manopause Bagi Wanita
          Bagi wanita yang berdarah quraisyiah [yang bersambung tali nasab (keturunan)-nya kepada Nabi saw] akan mengalami masa manopause pada usia enam puluh tahun. Sedangkan usia menopause wanita non-quraisyiyah adalah lima puluh tahun. Oleh karena itu, darah yang keluar dari vagina wanita tersebut bukan dikatagorikan sebagai darah haidh, dan dihukumi darah istihâdhah.
-       Soal: Apa yang dimaksud dengan usia lima puluh tahun dan enam puluh tahun yang berkenaan dengan wanita quraisyiyyah dan non-quraisyiyah saat mengalami menopause. Apakah tahun-tahun yang dimaksud sesuai kalender Qamariyyah (Hijriah) ataukah Syamsiyyah (Nasional))? Bila hal itu mengikuti kalender Qamariyyah, berapakah jika dihitung dengan tahun Syamsiyyah?
+   Jawab: Tahun-tahun yang dimaksud adalah mengikuti hitungan kalender Qamariyah (hijriah). Untuk setiap tahun qamariyah jumlahnya kurang dari tahun Syamsiyyah sekitar 10 hari 21 jam.

 ·        Jadi, lima puluh tahun qamariyah kurang dari lima puluh tahun syamsiyah sekitar 543 hari dan 18 jam. Atau sama dengan 18 bulan 3 hari. Sedangkan manopausenya untuk wanita non-quraisyiyah kira-kira 48 tahun 6 bulan. Dan 60 tahun qamariyah bagi wanita keturunan quraisyiyah (Hasyimiyyah) kurang dari 60 tahun syamsiyah sekitar 652 hari 12 jam. Yakni, 21 bulan 22 hari 12 jam. Jadi, kira-kira 58 tahun 2 bulan 5/7 hari.
       Dalam hitungan qamariyah, sebulan terkadang 29 hari atau 30 hari. Adapun syamsiyah, sebulan terkadang 28 hari, 29 hari, 30 hari atau 31 hari -peny.).
 ·        Hitungan maksimal wanita haidh bagi quraysyiyah adalah 60 tahun, sedangkan non-quraysyiyah adalah 50 tahun. Ini, bukan berarti mereka harus haidh sampai usia tersebut. Namun bisa seorang keturunan quraysyiyah (hasyimiyyah) telah berhenti haidhnya sebelum usia tersebut dan wanita non-quraysyiyah bisa saja berhenti haidhnya sebelum usia tersebut juga.
 ·        Seorang wanita yang ragu (syak) apakah dirinya sudah sampai usia menopause atau belum, baginya tidak digolongkan sebagai wanita manopause.

3. Tidak Kurang Dari Tiga Hari
          Darah yang keluar kurang dari tiga hari, meskipun kurang dari satu jam saja, tidak dihukumi sebagai darah haidh. Namun tidak ada keharusan saat melihat darah keluar pada awal permulaan hari (setelah azan subuh). Bahkan cukup bila saat melihatnya di waktu pertengahan pada hari pertama dan terus berlanjut sampai pertengahan hari keempat. Tolak ukurnya adalah tiga hari, bukan tiga hari tiga malam. Atas dasar itulah dapat dijadikan patokan bila ia melihat darah keluar selama tiga hari dua malam. Yang dimaksud satu hari adalah saat terbit fajar (azan subuh) sampai terbenam matahari (azan maghrib) secara syar’î. [Fiqh al-Mar`ah, hal.14; al-‘Urwat al-Wutsqâ, hal.319, bab Haidh, masalah:6; Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal.44, masalah:8,9,10]

 ·        Malam pertama tidak termasuk bagian dari hari, dan jika dikatakan bahwa darah wajib ada pada malam kedua dan malam ketiga, maka satu malam tidak dikatakan hitungan satu hari. Tetapi itu karena belum ada syarat yang keenam, yaitu istimrâr (berkesinambungan). Maka malam hari yang pertama tidak dihitung meskipun memiliki ciri-ciri darah haidh. (Fiqh al-Mar`ah, Tahrir al-Wasîlah, jilid 1, hal.47, masalah:10)
 ·        Wanita tidak dilarang menggunakan pil (atau alat kontrasepsi lainnya) untuk mencegah keluar darah haidh dengan tujuan agar dapat melaksanakan puasa bulan Ramadhan. Jika ia melihat darah keluar kurang dari tiga hari, maka tidak dihukumi darah haidh, meskipun memiliki ciri-ciri darah haidh. [Fiqh al-Mar`ah, hal.14-15; Istiftâât]
-       Soal: Bagi wanita yang memiliki kebiasaan waktu dan bilangan, bila melihat darah keluar di hari-hari kebiasaannya, bolehkah mengkonsumsi pil untuk mencegah keluar darah haidh setelah sehari pada hari pertama darah berhenti. Kalau diperbolehkan melakukan hal itu, maka apa hukum hari yang pertama itu bersamaan ia tidak melihat darah keluar lebih dari satu hari?
+   Jawab: Hal yang Anda tanyakan di atas tidak dilarang, asalkan tidak membawa madharat (membahayakan) bagi pemakainya. Bila darah berhenti kurang dari tiga hari maka tidak dihukumi sebagai darah haidh. [Fiqh al-Mar`ah, hal.15; Istiftâât]
-       Soal: Sebagian wanita mengkonsumsi pil (alat kontrasepsi lainnya) untuk menghindari ketidakberaturan masa datangnya haidh setiap bulannya dalam menunaikan ibadah haji, meskipun telah mengkonsumsi pil, kadangkala masa kebiasaan haidhnya tetap datang, kemudian ia beralih menggunakan obat (serum) yang disuntikan guna mencegah berlangsungnya kebiasaan haidhnya. Apakah dengan menggunakan obat tersebut dihukumi suci dari haidh. Dengan begitu, mereka diperbolehkan masuk ke Masjidil Haram, melakukan thawaf dan shalat?
+   Jawab: Bila mereka tidak melihat darah yang keluar selama tiga hari berturut-turut, tidak dihukumi haidh, sehingga shalat dan puasanya dihukumi sah. Jika keluar darah kurang dari tiga hari, maka dihukumi sebagai darah istihadhah. [Fiqh al-Mar`ah, hal.15; Istiftâât]

4. Tidak Melebihi Sepuluh Hari
          Bila seorang wanita melihat darah keluar dari vaginanya lebih dari sepuluh hari, maka dihukumi sebagai darah istihadhah.
 ·        Darah yang keluar selama sepuluh hari sembilan malam dihukumi haidh, sedangkan darah yang keluar pada malam berikutnya (kesebelas) dihukumi sebagai darah istihadhah meskipun lebihnya hanya satu atau dua jam saja.

5. Tiga hari (pertama) berturut-turut
          Wanita yang melihat darah keluar dari vaginanya tiga hari berturut-turut, maka dapat dipastikan sebagai darah haidh dan baginya dikenai hukum-hukum haidh. Adapun bila selama tiga hari dalam masa sepuluh hari ia melihat darah keluar dengan ciri-ciri darah haidh secara acak (tidak berurutan). Misalnya, darah keluar pada hari pertama, kelima, dan ketujuh, maka pada hari melihat darah keluar, ahwath (istihbâb, menyikapi kehati-hatian) dianjurkan untuk menggabung (melakukan) kedua hukum wanita istihadhah dan wanita haidh. Maksudnya, ia harus mempraktikkan hukum sebagai wanita istihadhah dan mempraktikkan hukum sebagai wanita haidh. Sedangkan pada hari-hari di mana ia melihat darah keluar (yakni, hendaknya ia melakukan shalat dan puasa serta meninggalkan hal-hal yang diharamkan bagi wanita haidh, seperti masuk ke Masjidil Haram, tinggal beberapa saat di dalam masjid lainnya, menyentuh tulisan al-Qur`an, asma Allah Ta’ala, dan lainnya). Pada hari-hari di mana wanita tidak melihat darah keluar, hendaknya mempraktikkan kedua hukum wanita yang suci dan tidak mempraktikkan hal-hal yang haram bagi wanita haidh. [Fiqh al-Mar`ah, hal.17; Tahrir al-Wasîlah, jilid 1, hal.47, masalah:9]

 ·        Yang dimaksud berturut-turut, yaitu berturut-turut pada tiga hari pertama. Meskipun setelah tiga hari pertama tidak berturut-turut (maksudnya, tiga hari kedua: hari-4, ke-5, ke-6) maka tidak menggugurkan hukum haidh. Sebaliknya, bila keluar darah tiga hari kedua berikutnya berturut-turut, dan pada tiga hari pertama ia tidak melihat darah keluar secara berturut-turut, tidak dihukumi sebagai darah haidh, maka ia harus melakukan kedua hukum yang telah disebutkan sebelum ini. [Fiqh al-Mar`ah, hal.17; al-‘Urwat al-Wutsqâ, jilid 1, hal.319, masalah:6]

6. Terus Menerus Keluar Darah Pada Hari-Hari Ketiga Pertama
          Syarat yang keenam adalah terus menerus (kesinambungan, kontinyu) melihat darah pada hari-hari ketiga pertama (yakni, hari ke-1, ke-2, dan ke-3), tetapi tidak seharusnya tampak keluar darah dari permukaan vaginanya, bahkan cukup untuk dihukumi sebagai darah haidh bila tampak di bagian dalamnya saja.

 ·        Perbedaan berturut-turut (at-Tawâlî) dan kesinambungan (al-Istimrâr) adalah bahwa maksud berturut-turut yaitu keluar darah selama tiga hari terus-menerus. Demikian juga halnya dengan terus-menerus (istimrâr) melihat darah pada seluruh hari-hari yang tiga tersebut tidak berhenti. Namun, tidak bermasalah jika berhenti (tidak keluar darah) sebentar saja.
 ·        Bukanlah yang dimaksud terus-menerus (istimrâr) keluar darah selama tiga hari itu keluar ke permukaan vagina, bahkan yang tampak di dalam vagina pun sudah cukup dihukumi sebagai darah haidh.
 ·        Pada permulaan haidh seharusnya darah keluar ke permukaan luar vagina, meskipun hanya sebesar ujung jarum. Tetapi keluarnya darah bukan suatu keharusan darah haidh itu tampak, bahkan bercak darah dalam vagina sudah cukup sebagai dasar penentuan darah haidh.
 ·        Bila seorang wanita merasa ada darah yang keluar dari vagina, tapi tidak sampai mengalir ke permukaan, apakah ia dianggap sebagai wanita haidh? Ahwath (wajib, lebih hati-hati) ia melakukan kedua hukum: pertama, mempraktikkan sebagai wanita suci, dan kedua: tidak mempraktikkan hal-hal yang diharamkan bagi wanita haidh.*)
*) Tentu, dimungkinkan mengeluarkan darah dengan sarana apapun dan dihukumi sebagai darah haidh, meskipun yang keluar adalah sedikit.

7. Batas Minimal Untuk Selang Waktu Antara Dua Haidh (Masa Suci) Adalah Sepuluh Hari.
          Bila belum berlalu sepuluh hari dari masa suci haidh pertama, maka jika ia melihat darah keluar, tidak dihukumi sebagai darah haidh (kedua).
 ·        Wanita hamil dan wanita yang sedang menyusui kadang kala mengalami haidh.

Macam-macam Wanita Haidh
1.      Wanita yang mempunyai adat (kebiasaan) haidh.
2.      Wanita yang tidak mempunyai adat (kebiasaa) haidh.
a)      Mubtadi`ah, yaitu wanita yang belum pernah melihat darah haidh, atau wanita yang telah mencapai usia baligh dan awal mula ia haidh.
b)     Mudhtharibah, yaitu wanita yang melihat darah beberapa bulan, tetapi ia tidak memiliki kebiasaan tertentu, atau bahwa kebiasaannya tidak teratur. Di samping itu, ia belum memperoleh kebiasaan baru yang teratur.
c)      Nâsiyah, yaitu wanita yang lupa kebiasaan masa haidhnya. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa ia lupa kebiasaan sebelumnya lebih dari dua tahun, karena hamil dan menyusui anaknya.

Hukum-Hukum Wanita Haidh
          Diharamkan bagi wanita haidh beberapa hal:
1.      Haram mengerjakan berbagai ibadat yang tidak sah melakukannya kecuali diawali dengan wudhu`, mandi-wajib atau tayamum, seperti shalat (selain shalat jenazah), thawaf, puasa dan i’tikâf.
2.      Diharamkan sebagaimana diharamkan juga bagi orang yang berhadas, yaitu menyentuh asma Allah Ta’ala, nama-nama Nabi, Imam ‘alayhimussalâm, menyentuh tulisan ayat Al-Qur`ân (sebagaimana yang diterangkan dalam bab wudhu`).
3.      Diharamkan sebagaimana diharamkan pula bagi orang yang junub. Seperti membaca salah satu surah-surah ‘Aza`im atau sebagiannya yang di dalamnya ada perintah wajib sujud. Yaitu, Juz 21, surah ke-32 (Alîf lâm mîm tanzîl/as-Sajdah, ayat 15); Juz 24, surah ke 41 (Fushshilat, ayat 37); Juz 27, surah ke-53 (Wan Najm, ayat 62); Juz 30, surah ke-96 (Iqra`, ayat 19). Tidak diharamkan bagi wanita haidh mendengarkan bacaan ayat sajadah (sujud), jika ia mendengarkan bacaan ayat sajadah dan sampai pada ayat tersebut, hendaklah sujud.
4.      Haram melakukan hubungan suami istri, ini berlaku bagi keduanya, meskipun yang masuk hanya sebatas khasyafah (tempat khitan) dan tidak terjadi keluar mani (ejakulasi), bahkan ahwath (wujubi, demi kehati-hatian) untuk tidak memasukkannya walaupun kurang dari batas khasyafah (tempat khitan). Bila hal itu dilakukan akan dikenai sanksi, selain haram ditambah juga dengan kewajiban membayar kaffarat yang besarnya ditentukan berdasarkan kapan dilakukan hubungan suami istri tersebut. [Fiqh al-Mar`ah, hal. 43; Taudhîh al-Masâil, masalah: 451]
Bila hari-hari haidh wanita dibagi tiga masa, maka:
a)      Jika seorang suami menggauli istrinya melalui qubulnya pada bagian awal hari haidh, ahwath (wajib, bersikap kehati-hatian) ia membayar kaffarat kepada satu orang fakir satu dinar emas. [Satu dinar sama dengan 3,45 gram emas. Dinukil dari kitab al-Ahkâm al-Muyassarah, bab IV ZAKAT, zakat an-Naqdayn, hal.122, edisi Dâr at-Tayyâr al-Jadîd, Beirut – Lebanon, tahun 1405 H.]
b)     Jika menggaulinya pada bagian kedua ia wajib membayar kaffarat setengah dinar.
c)      Jika menggaulinya pada bagian ketiga ia wajib membayar kaffarat seperempat dinar.
                         ·      Tidak dikenai kaffarat bagi wanita meskipun melakukannya atas kemauannya sendiri, namun ia telah berbuat haram dan bermaksiat. [Fiqh al-Mar`ah, hal.45; al-‘Urwat al-Wutsqâ, jilid 1, hal.340]
                         ·      Diwajibkan membayar kaffarat karena ia mengetahui bahwa perbuatan itu dihukumi haram dan dilakukannya dalam keadaan haidh. Bahkan ahwath (sunah) pada sebagian hal meskipun ia tidak mengetahui (jahil) karena memiliki kesempatan untuk bertanya. [Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal.53]
                         ·      Bila ia telah suci dari haidh, suami boleh menggaulinya sebelum istri melakukan mandi-wajib juga belum membersihkan farjinya tapi makruh hukumnya. Ahwath (bersikap kehati-hatian) menghindari melakukan hal itu sebelum istri mandi suci. [Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal.53]
                         ·      Yang dimaksud dengan pada bagian awal hari haidh adalah sepertiganya. Jika hari-hari haidhnya enam hari, maka 6:3= 2. Jadi, jika suami melakukan hubungan sebadan dengan istrinya pada malam atau hari yang pertama atau kedua, ia dikenai kaffarat 1 (satu) dinar; jika pada malam atau hari yang ketiga atau keempat, ia dikenai kaffarat ½ (setengah) dinar; jika melakukannya pada malam atau hari kelima atau keenam, keffaratnya ¼ (seperempat) dinar. [Fiqh al-Mar`ah, hal.44]
                         ·      Bila suami menggauli istrinya yang haidh pada bagian awal, yang kedua, dan ketiga, maka diwajibkan membayar kaffarat ketiganya, yaitu: 1+½+¼ = (1+0.5+0.25 =1.75 dinar emas. Atau, 1.75 x 3.45 gram emas = 6.0375 gram emas – peny.)
                         ·      Tidak seharusnya membayar kaffarat berupa emas, tetapi boleh menguangkannya seharga emas saat itu lalu diberikan kepada tiga orang miskin.
                         ·      Seseorang yang tidak mampu membayar kaffarat, afdhalnya bersedakah, jika tidak mampu juga, maka ahwath (wajib) beristighfar, dan jika suatu saat ia mampu hendaknya membayarkan kaffaratnya.
4.      Haram menyentuh tulisan al-Qur`an, asma Allah, Nabi saw, para Imam as secara langsung dengan anggota tubuh kita.
5.      Haram memasuki Masjid al-Haram dan Masjid an-Nabi saw, meskipun masuk dari satu pintu dan keluar melalui pintu lain.
6.      Haram berdiam di dalam masjid selain Masjid al-Haramain (Makkah dan Madinah). Diperbolehkan masuk dari satu pintu dan keluar melalui pintu lain, atau masuk untuk mengambil sesuatu, dan ahwath (wajib) tidak diperbolehkan juga berdiam di sekitar makam para Imam Ahlul Bayt as.
7.      Diharamkan bagi wanita haidh meletakkan sesuatu di dalam masjid.
8.      Tidak sah (batal) talak suami terhadap isterinya yang sedang haidh dan sebelumnya pernah digauli, kecuali dalam beberapa hal di samping syarat-syarat lainnya yang harus dipenuhi, maka lihat dalam kitab-kitab fiqih.
9.      Wajib mengqadha` ibadah-ibadah yang ditinggalkannya saat dalam keadaan haidh, seperti puasa wajib bulan Ramadhan atau lainnya. Juga shalat wajib selain shalat wajib lima waktu, seperti shalat ayat, shalat thawaf, shalat nadzar, dan lainnya.
            ·          Bila seorang wanita telah bersih (tidak keluar) darah sebelum azan subuh di bulan Ramadhan, ia wajib segera mandi sehingga sebelum azan subuh dalam keadaan suci untuk melakukan puasa esoknya. Bila ia sengaja dan tidak segera mandi sampai masuk azan subuh, maka puasanya untuk esoknya batal, (wajib baginya mengqadha`)
            ·          Tidak dilarang bagi wanita haidh mengikrarkan akad nikah, namun jika untuk mengikrarkan talak tidak sah dengan melihat beberapa syarat yang disebutkan dalam kitab fiqih.
            ·          Mustahab (dianjurkan) bagi wanita yang sedang haidh untuk membersihkan dirinya, mengganti kain pembalut (softek)-nya yang telah kotor, berwudhu atau bertayamum sebagai pengganti wudhu saat datang waktu shalat seharian kemudian mengenakan mekena (rukuh) dan duduk di tempat shalat menghadap ke arah kiblat selama biasa ia lakukan shalat, lalu menyibukkan diri dengan bertasbih, bertahlil, bertahmid, shalawat kepada Nabi saw, membaca al-Qur`an meski makruh kecuali pada waktu-waktu shalat. Maksud makruh di sini adalah berkurangnya pahala. Namun afdhalnya membaca tasbih empat:

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ الله وَاللهُ أَكْبَرُ

Hal-Hal Yang Makruh Bagi Wanita Haidh
1.      Memakai inai (pacar) atau sejenisnya.
2.      Membaca al-Qur`an meski kurang dari tujuh ayat.
3.      Membawa al-Qur`an meskipun hanya sampulnya saja.
4.      Menyentuh pinggir bagian dalam dan antara tulisan ayat-ayatnya.

 ·        Tidak dimakruhkan bagi orang yang junub membaca al-Qur`an tidak lebih dari tujuh ayat selain surat-surat ‘Azâim. Dimakruhkan jika lebih dari tujuh ayat, dan lebih dimakruhkan lagi jika melebihi tujuh puluh ayat. Maksud makruh di sini adalah berkurangnya pahala bacaannya.

-       Soal: Jika ibu saya berasal dari keturunan Nabi (saw), apakah saya seorang sayyid (sâdah), sehingga saya menganggap kebiasaan bulanan saya sebagai haidh sampai usia 60 tahun dan tidak melakukan shalat dan puasa selama masa tersebut?
+   Jawab: Jika wanita yang bapaknya bukan dari keturunan Bani Hasyim, meskipun ibunya tergolong dari sâdah (para sayyid), melihat darah setelah atas usia 50 tahun maka darah tersebut dihukumi sebagai darah istihadhah.

-       Soal: Apa taklif wanita yang mengalami haidh ketika sedang menjalani puasa nazar yang telah ditentukan?
+   Jawab: Puasanya batal dengan terjadinya haidh meskipun pada sebagian siang hari puasa dan wajib baginya qadha’ puasa jika sudah suci.

Darah Nifas
          Darah nifas adalah darah kelahiran yang keluar bersamaan atau setelahnya hingga sepuluh hari terhitung saat kelahiran, meskipun janin keguguran dan belum ditiupkan ruh padanya, bahkan yang keluar masih berbentuk mudhghah atau ‘alaqah yang diketahui secara pasti oleh wanita bahwa itu adalah cikal bakal bayi, atau diyakini oleh empat orang ahli di bidangnya (dokter kandungan, bidan, dan lainnya), maka darah yang dilihat oleh wanita sampai sepuluh hari adalah darah nifas.
 ·        Darah yang dilihat oleh wanita tidak disertai bagian tubuh si bayi bukanlah darah nifas.
 ·        Bila keluar sesuatu dari rahim wanita dan tidak diketahui apakah sesuatu itu cikal bakal bayi atau bukan, maka darah yang dilihatnya bukanlah darah nifas. [Fiqh al-Mar`ah, hal.59; Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal.60, bab Nifas]
 ·        Seorang wanita yang melahirkan bayi kembar maka hitungan awal darah nifasnya dari anak yang pertama keluar, tetapi untuk menghitung permulaan sepuluh hari nifas dihitung dari kelahiran anak yang kedua. [Fiqh al-Mar`ah, hal.60; Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal.60, bab Nifas]
 ·        Tidak ada batas minimal hari waktu nifas, karenanya bisa saja wanita melihat darah nifas yang keluar sesaat saja (antara hari-hari yang sepuluh) kemudian berhenti. Bila wanita melihat darah nifas yang keluar hanya sesaat atau beberapa saat, maka diwajibkan mandi suci dan melakukan shalat.
 ·        Kalau ia tidak melihat darah sama sekali, atau melihatnya setelah sepuluh hari terhitung dari saat persalinan, maka bukanlah darah nifas. Maksimal darah nifas adalah sepuluh hari yang, awal hitungannya dari setelah keluarnya bayi, bukannya awal hitungannya dari ketika mulai persalinan. [Fiqh al-Mar`ah, hal.59; Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal.60, bab Nifas]
 ·        Tugas wanita setelah tidak lagi mengeluarkan darah nifas, maka hendaknya ia melakukan pemeriksaan diri dengan kapas, untuk melihat apakah benar-benar telah bersih dari darah? Sebagaimana hal itu telah dijelaskan dalam bab haidh. [Fiqh al-Mar`ah, hal.64; al-‘Urwat al-Wutsqâ, jilid 1, hal.363, bab Hukum-Hukum Nifas, masalah:8]
 ·        Hukum-hukum wanita nifas sama seperti hukum-hukum wanita haidh, yaitu:
1.       Tidak boleh digauli.
2.       Tidak sah talaknya.
3.       Haram melakukan shalat dan puasa.
4.       Haram menyentuh tulisan al-Qur`an.
5.       Haram membaca surat-surat ‘Azâim.
6.       Haram masuk ke Masjid al-Haramain (Makkah dan Madinah).
7.       Haram berdiam di dalam masjid-masjid selain kedua masjid tersebut.
8.       Wajib mengqadha` puasa, adapun shalat tidak wajib mengqadhanya.
9.       Diharamkan meletakkan sesuatu di dalam masjid. Dan lain-lainnya itu yang telah disebutkan secara rinci dalam bab haidh. Jadi, hal-hal yang diharamkan, dimakruhkan, dan dianjurkan (mustahab) pada wanita nifas berlaku pula pada wanita haidh.


Darah Istihadhah
          Istihadhah, adalah darah yang keluar dari vagina wanita, bukan karena luka dan tidak memiliki syarat-syarat darah haidh dan darah nifas.
 ·        Ciri-ciri darah istihadhah pada umumnya berwarna kuning, dingin, lembut, saat keluar tanpa tekanan, tidak terasa nyeri, tidak sakit, dan tidak kental. Tetapi kadang kala berwarna hitam, merah, terasa panas, kental dan saat keluar ada tekanan serta nyeri. Memang, ciri-ciri darah istihadhah pada umumnya kebalikan dari ciri-ciri darah haidh umumnya. [Fiqh al-Mar`ah, hal.71; Taudhîh al-Masâil, masalah:392]
 ·        Darah istihâdhah tidak memiliki batas minimal dan maksimal, mungkin saja masa keluarnya istihadhah kurang dari tiga hari, atau bahkan melebihi sepuluh hari. [Fiqh al-Mar`ah, hal.71; Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal:56]
 ·        Penentuan awal istihadhah terhitung sejak keluar darah dari vagina wanita meskipun hanya seujung jarum. Kelangsungannya tidak harus darah itu keluar ke permukaan farjinya, bahkan bercak yang ada di dalam farji sudah cukup sebagai dasar penentuan hukum darah istihadhah. Ahwath (istihbâb, sikap kehati-hatian) dianjurkan untuk menetapkannya sebagai darah istihâdhah. [Fiqh al-Mar`ah, hal.72; al-‘Urwat al-Wutsqâ, jilid 1, hal.349, bab Istihâdhah]

Tiga Macam Istihâdhah
1.      Istihâdhah sedikit (qalîlah), yaitu darah yang keluar dari farji wanita melumuri softek (kapas) namun tidak sampai menembus (melumuri) ke permukaan lainnya.
2.      Istihâdhah sedang (mutawassithah), yaitu darah yang keluar dari farji wanita melumuri softek (kapas) hingga menembus (melumuri) ke permukaan lainnya, tetapi tidak sampai mengalir ke celana dalamnya.
3.      Istihadhah banyak (katsîrah), yaitu darah yang keluar dari farji wanita melumuri softek (kapas) dan menembus (melumuri) ke permukaan lainnya hingga mengalir (mengotori) celana dalamnya.

 ·        Tugas wanita istihadhah yaitu ia wajib mencari tahu setiap masuk waktu shalat dengan cara mengecek keadaan darah yang keluar dengan memasukkan kapas atau sejenisnya lalu bersabar sebentar untuk mengetahui tergolong jenis istihadhah mana sekaligus menetapkan tugas yang harus dijalani. Tidak diperbolehkan saat mencari tahu sebelum masuk waktu shalat, kecuali sudah diketahui tidak mengalami perubahan keadaannya sampai masuknya waktu shalat. [Fiqh al-Mar`ah, hal.72; Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal:57, masalah: 1]

Hukum-Hukum Istihadhah Sedikit
1.      Wanita yang mengalami istihadhah sedikit diwajibkan berwudhu setiap hendak melaksanakan shalat wajib maupun shalat sunah. Maksudnya, ia berwudhu untuk melaksanakan shalat zuhur, dan wudhu lagi untuk melaksanakan shalat asar.
2.      Mengganti softek dan membasuh farjinya dengan air setiap melihat darah keluar dan melumurinya.
 ·        Hendaknya wanita yang mengalami istihadhah sedikit berwudhu sekali untuk setiap hendak shalat, juga wajib berwudhu setiap kali amalan ibadah yang disyaratkan bersuci (wudhu/tayamum), seperti thawaf, menyentuh tulisan al-Qur`an (karena nazar). Maksudnya, tidak cukup satu wudhu untuk semua amalan tersebut. Bahkan wajib untuk setiap amalan melakukan wudhu tersendiri, hatta setiap kali hendak menyentuh tulisan al-Qur`an. Atas dasar itulah, maka ahwath (wajib, sikap kehati-hatian) hendak berwudhu sekali untuk setiap amalan. [Fiqh al-Mar`ah, hal.74; al-‘Urwat al-Wutsqâ, jilid 1, hal.356, bab Istihadhah, masalah:17]
 ·        Bila seorang wanita telah melaksanakan tugas istihadhah sedikit untuk shalat zuhur, dan ia tidak melihat darah keluar sampai maghrib, maka ia diperbolehkan melaksanakan shalat maghrib dan isyak dengan wudhu tersebut.
 ·        Apakah wanita yang mengalami istihadhah sedikit dan setelah bersih diwajibkan mandi (suci)? Tidak diwajibkan mandi bagi wanita yang mengalami istihadhah sedikit. [Fiqh al-Mar`ah, hal.74; al-‘Urwat al-Wutsqâ, jilid 1, hal.356, bab Istihadhah, masalah:16]

Hukum-Hukum Istihadhah Sedang
          Wanita yang tengah mengalami istihadhah sedang (jika tetap dalam keadaan seperti itu) diwajibkan mandi sekali setiap hari sebelum melaksanakan shalat subuh. Namun bila istihadhah sedang ini terjadi setelah melakasanakan shalat subuh, maka dia wajib mandi saat hendak melaksanakan shalat zuhur dan ashar. Bila ia mengalami istihadhah sedang sebelum shalat maghrib dan isyak, maka sebelum melaksanakan kedua shalat tersebut ia wajib mandi terlebih dahulu. Apabila sampai keesokan ia tetap dengan kondisi istihadhah sedang, maka diwajibkan mandi setiap kali akan melaksanakan shalat subuh. Alhasil, ia diwajibkan mandi hanya satu kali dalam sehari semalam. Adapun yang berkenaan dengan shalat-shalat berikutnya ia diwajibkan mengamalkan hukum-hukum istihadhah sedikit.
          Wanita yang tengah mengalami istihadhah sedang juga diwajibkan melakukan tugas wanita yang tengah mengalami istihadhah sedikit, yaitu mengganti pembalut (softek) dan membasuh vaginanya serta berwudhu setiap kali hendak melaksanakan shalat.

Hukum-Hukum Istihadhah Banyak
          Wanita yang sedang mengalami istihadhah banyak (sebelum azan subuh) diwajibkan mandi tiga kali sehari:
          Pertama, mandi suci sebelum melaksanakan shalat subuh.
          Kedua,. mandi suci sebelum melaksanakan shalat zuhur dan ashar (menjamak), dengan syarat tanpa jeda waktu yang lama antara keduanya.
          Ketiga,. mandi suci sebelum melaksanakan shalat maghrib dan isyak (menjamak), dengan syarat tanpa jeda waktu yang lama antara keduanya.

 ·        Setelah mandi suci dan wudhu, wanita yang sedang mengalami istihadhah banyak diwajibkan berusaha mencegah keluarnya darah sebisa mungkin, dengan kain pembalut kuat-kuat yang tidak membahayakan. Bila ia lalai dan tidak berupaya untuk mencegahnya sehingga darah keluar, maka wajib mengulang shalatnya bahkan ahwath (wajib) mengulang mandi suci dan wudhu. [Fiqh al-Mar`ah, hal.76; al-‘Urwat al-Wutsqâ, jilid 1, hal.356, bab Istihadhah, masalah:9; Tahrîr al-Wasîlah, jilid 1, hal.58, masalah:4]
 ·        Bila diketahui sebelumnya tidak terdapat luka dan ragu apakah darah yang keluar itu darah luka atau memang darah istihadhah, maka ahwath (wajib) dihukumi darah istihadhah.
 ·        Bila wanita mengalami istihadhahnya setelah shalat ashar dan tidak melakukan mandi suci sampai azan maghrib, maka puasanya dihukumi sah. [Fiqh al-Mar`ah, hal.78; Taudhîh al-Masail, masalah:323, 407]
 ·        Seorang wanita yang telah mandi suci dan wudhu dari istihadhah sedang maupun banyak, bila darah istihadhah sedang maupun istihadhah banyak keluar lagi, maka membatalkan wudhu dan mandi.
 ·        Wanita yang sedang mengalami istihadhah, ahwath (wajib) melakukan hal-hal berikut: Pertama, pemeriksaan atau mencari tahu sebelum melaksanakan shalat untuk mengetahui tingkat istihadhah yang tengah dialaminya. Caranya dengan menggunakan kapas atau sejenisnya lalu memasukkannya ke dalam vagina (farji) dan bersabar sebentar sebelum mengeluarkannya kembali. Dengan demikian setelah melihat darah yang melekat pada kapas tersebut ia dapat menentukan bagian golongan istihadhah yang mana. Kedua, melaksanakan shalat berdasarkan golongan istihadhah yang telah diperiksanya terakhir kali. Pemeriksaan harus dilakukan setelah waktu shalat tiba, bila melakukannya sebelum masuk waktu shalat, tidak cukup dijadikan sebagai dasar penetapan golongan istihadhah, kecuali ia yakin bahwa golongan istihadhahnya tidak akan bergeser sebelum atau sesudah masuk waktu shalat.
 ·        Wanita yang tengah mengalami istihadhah, ahwath (wajib) berupaya mencegah keluarnya darah semampunya saat berpuasa.
 ·        Wanita yang tengah mengalami istihadhah diperbolehkan untuk mendahulukan mandi suci kemudian wudhu, tetapi afdhalnya mendahulukan wudhu.
 ·        Bila saat mandi suci darah istihadhah tidak berhenti maka mandinya dihukumi sah, tetapi bila ditengah-tengah mandi mengalami perubahan golongan dan jenisnyanya, seperti istihadhah sedang menjadi istihadhah banyak, maka mandi yang dilakukan secara tartîbî, ahwath (wajib) mengulanginya, sedangkan mandi yang dilakukan secara irtimâsî, afdhalnya mengulangi juga.
 ·        Mandi suci tartîbî, yaitu melakukan mandi suci dengan cara mengurutkan pada bagian-bagian anggota tubuh yang dimulai dengan menyiram seluruh bagian kepala dan leher, kemudian menyiram badan bagian kanan lalu menyiram badan bagian kiri secara merata. Adapun mandi suci irtimâsî, yaitu dengan cara menenggelamkan seluruh badan ke dalam sungai, kolam renang, dan sejenisnya. Lihat bab Mandi Janabah.
 ·        Wanita yang tengah mengalami istihadhah diperbolehkan memasuki Masjid al-Haramain dan berdiam di dalam masjid-masjid lain tanpa mandi dulu, namun ahwath (istihbâbî, sikap kehati-hatian) dianjurkan tidak melakukannya (tidak memasukinya).
 ·        Cara mandi suci, baik bagi wanita yang mengalami haidh, nifas, istihadhah sedang maupun banyak sama seperti saat melakukan mandi suci janabah (junub), yaitu: menyiram seluruh bagian kepala dan leher, badan bagian kanan, dan badan bagian kiri secara merata. Tentu setiap ibadah yang akan ia lakukan harus diawali dengan niat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar